Sebelum Shubuh Melepas Senja

Esok, kelam yang lalu merana pada ufuk timur kiblat para penyeru. Tibalah tangan-tangan kumal menyambit tabir, hening yang tercipta sendirinya beserta kepenatan selepas kerja. "ya kawan.. kita kerja bersama rona-rona merah kaum pendusta".

Semua langkah menjadi pasti pada nisbi yang terlupa, hendak entah kemana sepagi buta ini jika kita merangkak pada dasar jurang terdalam karunia illahi. entahlah arogan yang menyulut hati telah menjadi pemangsa yang membunuh sendi-sendi kemanusiaan dan kita hanyalah "pekerja". Bila di senja-senja yang lain kita telah terhenti dengan secangkir teh laknat buatan tungku empunya pemilik kedai kearifan dunia ini, maka hanyalah berseru pada lubuk terdalam sebuah ketetapan "lupakan saya hai sang segala pemilik jagat raya beserta isinya" kemudian membanting tulang untuk dapat berharap berada pada sisi terbaik yang Dia punya, jika itu yang telah dan akan kita lakukan, "selamat datang pada kekufuran wahai sahabat".

Berharap adalah ketidakmampuan yang terejawantah, tak ada kepastian dalam sebuah harapan apapun, tak akan ada keindahan iman, apapun itu tentang pelukan bahkan sebuah ciuman sekalipun. tetapi yang terbaik dalam keterasingan pada keputusasaan adalah secercah harapan yang menggantung dalam lampion tertanam pada setiap sendi-sendi raga, besarnya harapan adalah penanaman Bom Atom yang meledak-ledak pada rongga dada hingga tak mampu bernafas terserang strouk stagnatisme menyerang meliputi jagat raya sebuah ruang imaziner penebar teror, namun harapan kecil adalah sebuah awal dari pendewasaan yang akan tertanam lamat-lamat yang setiap langkahnya akan terus dan terus tertanam erat.

 





0 komentar: